Bagaimana Hukum Anak Autis dalam Islam?

Sebenarnya, bagaimana hukum anak autis dalam Islam? Anda yang saat ini memiliki saudara yang autis, mungkin menyimpan pertanyaan ini.

Apakah mereka sama dibebani taklif untuk menaati segala perintah dan larangannya? Apakah mereka wajib solat, ibadah, dan lainnya?

Atau, dengan kekurangannya mereka justru dibebaskan dari hal-hal tersebut?

Kali ini, kami akan mencoba menjawabnya.

Hukum Anak Autis dalam Islam

Mengutip Alodokter, Autisme adalah kelainan perkembangan saraf yang menyebabkan gangguan perilaku dan interaksi sosial. Gejala penyakit ini lebih sering terdeteksi pada masa kanak-kanak, tetapi juga dapat ditemukan ketika dewasa.

Autisme saat ini disebut sebagai gangguan spektrum autisme atau autism spectrum disorder (ASD). Hal ini karena gejala dan tingkat keparahannya bervariasi pada tiap penderita.

Gejala yang dapat dialami oleh penderita autisme antara lain:

  • Gangguan komunikasi dan interaksi sosial, seperti lebih senang menyendiri, enggan berbicara dengan orang lain, dan sering mengulang kata yang sama
  • Gangguan perilaku, seperti melakukan gerakan yang sama secara berulang, misalnya selalu berjalan dengan berjinjit
  • Gangguan lain, seperti gangguan kognitif yang menghambat belajar, gangguan mood atau reaksi emosional, dan kejang

Berdasarkan fakta tersebut, hukum anak autis berbeda-beda tergantung tingkat ringan dan parahnya penyakit tersebut. Jika diklasifikasikan, ada tiga keadaan bagi orang yang memiliki autisme:

1. Jika autisnya sampai kepada tingkat yang menyebabkan ia hilang akal, tidak mampu lagi membedakan mana yang benar dan salah. Maka tidak diragukan lagi, orang seperti ini tidak terkena beban hukum syariat atau taklif. Berdasarkan sabda Nabi ﷺ :

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ : عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ

“Diangkat pena (hukum) dari tiga orang; orang tidur samai bangun, anak kecil sampai baligh, dan orang gila sampai berakal” (HR: Bukhari)

2. Jika autisnya tidak sampai menyebabkan hilangnya akal, tetapi hanya sekedar ingin selalu menyendiri, atau penginderaannya lemah. Maka ia termasuk orang yang terkena beban hukum syariat atau taklif. Wajib baginya shalat, puasa, dan kewajiban lainnya

3. Jika terkadang autisnya ringan, kadang pada waktu lain berat. Maka hukumnya dia dianggap terkena taklif ketika akalnya ada, dan gugur kewajibannya ketika akalnya hilang.

Kesimpulannya, hukum anak autis dalam Islam dibedakan berdasarkan tingkat kemampuan akalnya. Prinsipnya, taklif syara’ masih berlaku jika akal dari anak autis berfungsi seperti manusia pada umumnya.

Waaallahu’lam**

Baca juga:

Hukum Anak yang Murtad

Hukum Anak Memandikan Ibu yang Sakit

Hukum Anak Kabur dari Rumah